Yang berada di langit hanya mencintai yang di langit pula.
Aku langsung tertegun, menyadari betapa benarnya kalimat itu, dan betapa kalimat itu mendeskripsikan banyak hal serta banyak makna.
Dulu waktu aku masih kecil, masih anak - anak, aku suka membayangkan kalau aku adalah cahaya matahari. Iya, konyol, aku tahu, tapi menyenangkan saja, waktu itu aku suka main dekat - dekat rimbunan daun di depan rumah, karena kalian tahulah, tanaman butuh cahaya matahari untuk berfotosintesis. Waktu itu, aku berpikir kalau cahaya matahari merupakan semacam kepentingan utama bagi rimbunan daun, jadi pasti daun - daun itu akan selalu mengutamakan cahaya dibandingkan unsur lainnya.
Betapa salahnya aku waktu itu.
Sekarang, aku menganggap seseorang sebagai rimbunan daun itu, dan aku tentu saja masih cahaya matahari. Kupikir, dia akan memberiku perlakuan khusus, I don't know, karena aku juga masih terlalu polos dalam hal yang bersangkut paut dengan rasa. Dan aku salah. Dia juga punya kebutuhan lain. Sepeti CO2, air, zat hara. Pada dasarnya, dia lebih butuh mereka daripada aku, yang mungkin hanya seberkas cahaya. Kenyataan ini langsung memecahkan cermin kepercayaanku dengan tangan kosong miliknya, tangannya berdarah, tapi cepat sembuh, sementara cerminku sudah retak dan yah, bernoda.
Lama - lama aku berpikir, kalau aku pergi, mungkin dia akan menemukan cahaya matahari yang lain, dan aku mungkin juga akan menemukan rimbunan daun yang lain. Tapi seorang teman dekatnya pasti selalu berkata, "Dia tidak bisa melakukan apa - apa tanpamu. Temani dia sebentar lagi,"
Tapi sampai kapan?
Dan mungkin, hanya mungkin, yang di langit bisa mencintai yang ada di dataran, hanya kadang yang berada di dataran takut untuk mencoba sesuatu yang menurutnya tidak biasa.
No comments: