I really don't know
what is this about, menulis secara spontan :| -_-
Kudengar,
kau sedang ada masalah dengan pasanganmu, sehingga akhirnya kau memutuskan
untuk kembali- ah, bukan- berkunjung ke tanah airmu. Kata orang – orang
sekitar, kau meminta waktu sejenak untuk memikirkan semuanya. Aku tidak ikut
menjemputmu di bandara, toh, buat apa? Sudah malam, jam sebelas, dan kukira
sudah cukup banyak yang antusias melihatmu lagi setelah entah berapa lama, aku
malas menghitungnya.
Seraya
melanjutkan menelaah permintaan klien tentang jenis bunga, telepon pintarku
berbunyi, ada sebuah panggilan masuk. Dari temanmu yang ikut menjemput di
bandara. Awalnya aku ragu, membayangkan pro kontra, sampai kuputuskan untuk
mengangkatnya dan mengabaikan konsekuensi. Aku menyapa dengan tenang, sementara
sudah terdengar hiruk pikuk bandara di telingaku. Temanmu hanya berkata dengan
nada yang mengesalkan, jika aku tidak bertegur sapa sama sekali saat kau ada di
sini, aku akan menyesal seumur hidup.
Bukankah
aku sudah menyesal karena mengenalmu?
Aku
hendak mengabaikan ‘ancaman’ temanmu, sampai aku mendengar suaramu samar –
samar. Kau masih saja berbicara layaknya Juli. Dan kau bertanya sesuatu pada
temanmu itu. Aku tidak yakin bertanya apa, karena aku langsung menekan tombol
reject dengan cepat. Kakiku langsung otomatis berjalan ke dapur, mengambil
sebotol Pinot Noir di kabinet, dan menghabiskan malam dengan buram. Tentu
paginya aku terlihat seperti gelandangan, hanya saja, lebih buruk. Selama satu
bulan kau berada di sini, tidak terlintas sama sekali di benakku untuk
menemuimu. Sekali lagi, buat apa? Aku sibuk dengan klienku yang rewel, dan aku
juga sudah mendengarkan penjelasanmu saat terakhir kali kita bicara, penjelasan
yang menginjak – injak mimpiku dengan wajah puas. Pada saat itu, walaupun
berat, aku pun menghembuskan nafas yang enggan. Mengingat hal itu, tekadku
makin kuat untuk tidak menemuimu.
Tidak
terasa, hari ini menjadi hari terakhir kau di sini. Hari itu matahari masih
sibuk bersiap – siap untuk mulai bekerja, aku masih terbenam di kasur, sampai
pintu rumahku diketuk berkali – kali. Aku bangun, dan hendak mengambil sapu,
untuk jaga – jaga jika yang mengetuk berniat jahat. Sejenak, aku merasa bodoh.
Mana ada pencuri ketuk pintu. Agaknya ya, aku masih was – was juga. Kubuka
pintu dengan perlahan dan, kau ada di depan pintuku.
Masih
seperti dulu. Bukan, bukan penampilan. Aku tidak peduli bagaimana kau terlihat,
aku lebih mementingkan personalitasmu. Memang masih seperti dulu. Kau
menawarkan senyum yang sama persis seperti waktu kita masih naif, tapi
sekarang, senyum milikmu dibumbui rasa capai. Betapa bencinya aku saat harus
mendongak untuk mencari matamu, tetap sama, ada kilau mengesalkan yang
terpancar. Tapi kukira, aku hanya sok kenal, karena aku sama sekali tidak
mengerti atas dirimu yang sekarang.
Kita
hening dalam waktu lama. Semua terasa janggal. Dengan kita yang sangat berbeda
dibandingkan dengan kita yang dulu. Dengan ketidaktahuanku tentang orang asing
di depanku. Aku berniat mengusirnya dengan halus, sampai kau angkat bicara,
“Apa kabar?”
Dan
aku meledak penuh amarah.
“Apa
kabar? Apa kabar tanyamu? Aku punya beribu pertanyaan untukmu dan yang kamu
punya hanya ‘apa kabar’? Oh, baiklah, kabarku luar biasa! Aku senang kau pergi
jauh tanpa penjelasan! Aku senang, bahagia mungkin, mengetahui kau akan kembali
lagi ke negeri orang besok!” Aku menarik nafas panjang, “Sekarang giliranku.
Bagaimana perjalananmu? Kehidupanmu? Apa kau jatuh hati pada seorang yang baik
atau kurang ajar? Apa kau berhasil mencapai impianmu? Sudahkah kau pergi ke tempat
yang kau inginkan? Apakah kau ingat aku walaupun sedetik saja? Apakah ini semua
yang kau inginkan?”
Hening
kembali melanda kita. Aku benci hening ini, aku benci dengan bagaimana redupnya
lampu terasku sehingga ekspresimu tidak tertebak, aku benci dinginnya angin
pagi yang menusuk tulangku, aku benci bagaimana aku tidak bisa menghentikan air
yang mengalir di kedua pipiku, aku benci bagaimana ini terlihat seperti adegan
sinetron murahan, dan di atas semua itu aku benci dengan caramu menghapus air
mataku serta menawarkan pundak untuk menangis.
Dan
untuk pertama kalinya, aku kembali masuk ke rumah, menutup pintu dan
menguncinya. Karena pada akhirnya, apa yang kita inginkan berbeda.