Blogger Templates

Translate

Noel


Beberapa hari lalu, aku bertemu dengan teman lamaku. Ya, sebenarnya sih, aku lupa dia siapa-_- dan dengan bodohnya bertanya, “Siapa ya?” bukannya menggunakan taktik, “Oooooh, kamu! Iya, aku inget kok! Hahahaha…..” Teman TK, tidak akan kusebutkan namanya di sini, tapi dulu dia merupakan satu – satunya perempuan di kelasku yang mandiri, tegas, lebih mudah bergaul dengan anak laki – laki (mungkin karena penampilannya yang juga mirip anak laki – laki) dan memiliki ambisi yang meledak – ledak.
Aku sering punya masalah dengan dia, ya masalah sepele sih :| tapi namanya juga anak kecil. Walaupun dia sering bermasalah denganku, tapi tidak jarang juga dia yang pertama kali membelaku jika aku berbeda pendapat dengan anak lain, sungguh berhati baik.
Paling tidak, anak yang berbeda pendapat denganku itu seperti merasa bersalah saat teman lamaku ini membelaku. Walaupun aku ingat waktu itu berbeda pendapat dengan seorang anak yang super girly (bahkan namanya sudah menunjukkan dia sangat girly) soal Gary, siput laut milik Spongebob.
Opozih Kin.
Alay.
Tapi kan waktu itu aku masih kecil, so, no problemo.
Aku sedang melihat – lihat buku di sebuah toko buku (iyalah mana mungkin toko bangunan-_-) karena waktu itu temanku yang menemani sudah pulang, sampai sebuah suara tiba – tiba berkata, “Eh, Kintan bukan ya?” aku langsung menengok ke sumber suara tersebut, dan disambut dengan seorang perempuan berambut sebahu dan berpenampilan sangat casual.
“Siapa ya?” Nah, ini pertanyaan yang kujelaskan di paragraf pertama. Panggil saja dia... Noel.
“Ini aku, Noel! Ingat? Kita satu kelas waktu TK! Yang dulu sering marahan sama kamu, hehe,” jawabnya dengan ceria. Memang dari dulu dia anak yang ceria dan supel. Ya, aku langsung ingat satu anak yang memang sering perang denganku. Yang membuat dia berbeda mungkin hanya kacamata yang menutupi matanya.
Lalu, dia mengajakku untuk minum kopi (tentu saja kopi, aku yang mengusulkan) di lantai teratas tempat tersebut. Kami mengejar ketinggalan cerita hidup masing – masing. Kami juga bercerita soal teman TK dulu. Tentang lucunya aku saat fashion show, dan aku menyindirnya karena saat temanku yang lain bersemangat untuk melenggok di atas panggung, dia dengan tidak tertarik duduk di kursi penonton seraya memandang ke arah lain.
Memang dia yang paling dewasa dari kami semua waktu itu. Bahkan dia sudah tau hal – hal yang aku tidak mengerti, seperti tentang semesta (dulu aku hanya mengangguk bodoh, sekarang sudah lumayan bisa mengikuti), teori – teori yang tidak kumengerti, rasi – rasi bintang di langit, olahraga yang aku tidak pahami, aliran seni yang tidak pernah kudengar, dan yang lainnya.
Dan aku menceritakan berbagai macam hal juga padanya. Tentang rahasia tua dunia, konspirasi – konspirasi yang kebanyakan orang tanggapannya hanya mengangguk seakan paham atau berdebat balik denganku, mitologi aneh yang membuat orang bosan lalu mengalihkan pembicaraan, tentang tiga golongan (mungkin yang sudah tahu, Alpha, Beta, Omega) yang orang lain hanya menanggapi dengan jawaban pendek,  teori multiverse, dan variasi kopi yang seringkali ditanggapi orang lain hanya dengan, “Kamu suka banget kopi, ya,”. Tapi tanggapannya berbeda. Dia tahu apa yang aku bicarakan, baru pertama kali aku bertemu dengan orang yang dari awal mengerti omong kosong aneh yang kubicarakan.
Dia sanggup membuat hariku yang berantakan itu kembali ke posisi awal yang nyaman. Awalnya aku yang siap meledak seperti bom atom, menjadi bom level rendah, petasan kelihatannya. Aku sudah merasa seperti bersahabat dengannya selama 10 tahun. Entahlah, mungkin lebih, sepertinya.
Yang berbeda dari kami hanya, dia suka espresso, aku suka cappuccino. Espresso itu pahitnya luar biasa dan terkesan gagah, cappuccino itu bisa dibilang kopi yang genit, manis, tapi betapa kagetnya aku saat dia berkata hal yang sama denganku soal, "Seni kopi itu di pahitnya. Setelah kamu minum kopi, pasti makanan dan minuman lain manisnya lebih terpancar dari sebelumnya,"
Saat aku akan dijemput, kami sama sekali tidak bertukar nomor telepon. Tidak, facebook, twitter, dan social media lainnya pun tidak. Dia bilang, “Bukankah menyenangkan jika dipertemukan kembali oleh kehendak yang di atas dan semesta? Lebih baik dan menjadi kejutan yang manis daripada pertemuan yang dirancang dari awal sampai akhir oleh kita sendiri,” katanya dengan nada ala orang bijak. Walaupun setelah itu dia langsung mencibirku atas ‘ngomong-ngomong, pakaianmu, astaga. Celananya pendek banget, panjangin sedikit harusnya!’ dan aku membalas dengan ‘kalau ini dipanjangan sedikit, namanya bukan celana pendek, oke.’
Ya kuakui, memang aku akan merindukan seseorang yang bisa langsung pas dan tahu saat berbicara tentang segala omong kosong yang aku tahu, dan memiliki pandangan yang sama denganku (menyenangkan saat tahu kalau ternyata orang lain berpandangan sama dengan kita). Tapi berusaha untuk ‘pas’ dengan seseorang itu seru juga, berbagai macam reaksi bisa kita dapat.

Post yang satu ini, mungkin kutunjukkan pada Noel. Mungkin. Karena seperti katanya, segala hal yang terdapat kata ‘mungkin’, 75% sudah seperti memberikan jawaban positif. Aku tidak mengerti, aku tidak pandai berbahasa, mungkin suatu saat aku mengerti. Mungkin.

No comments:

Supported by CoreBlogging
Back to Top